Menyebut nama Umar
bin al-Khattab, nalar kita begitu reflek membayangkan sosok pemimpin yang
tegas, adil, dan karismatik. Ditambah perawakan Umar yang tinggi-besar dan
bersuara lantang. Menjadikan figurnya seolah-olah pemimpin di kisah-kisah
dongeng yang begitu ideal. Ya, Umar memang seorang yang adil. Dia juga tegas.
Dan dia berhasil memakmurkan rakyatnya.
Kiranya
Umar hadir di zaman sekarang.. seloroh sebagian orang sebagai keluh
keputus-asaan akan sosok pemimpin idaman.
Kita bersyukur banyak kaum muslimin mencintai sosok Umar. Mereka mencintai sahabat Nabi yang mulia. Nomor dua kedudukannya jika dirunut bersama Abu Bakar, radhiallahu ‘anhuma. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu pernah berkata, “Aku mencintai Nabi, mencintai Abu Bakar, dan mencintai Umar. Aku berharap bisa bersama dengan mereka (di hari kiamat) lantaran kecintaanku pada mereka, walaupun aku tidak bisa beramal seperti amalan mereka.
Selain
dikenal tegas, Umar juga memiliki sifat lembut dan kasih sayang kepad rakyatnya
Umar
Takut Jika Menelantarkan Rakyatnya
Muawiyah
bin Hudaij radhiallahu ‘anhu datang menemui Umar setelah penaklukkan
Iskandariyah. Lalu ia menderumkan hewan tunggannya. Kemudian keluarlah seorang
budak wanita. Budak itu melihat penat Umar setelah bersafar. Ia mengajaknya
masuk. Menghidangkan roti, zaitun, dan kurma untuk Umar. Umar pun menyantap
hidangan tersebut. Kemudian berkata keapda Muawiyah, “Wahai Muawiyah, apa yang
engkau katakan tadi ketika engkau mampir di masjid?” “Aku katakan bahwa Amirul
Mukminin sedang tidur siang”, jawab Muawiyah. Umar berkata, “Buruk sekali apa
yang engkau ucapkan dan alangkah jeleknya apa yang engkau sangkakan. Kalau aku
tidur di siang hari, maka aku menelantarkan rakyatku. Dan jika aku tidur di
malam hari, aku menyia-nyiakan diriku sendiri (tidak shalat malam). Bagaimana
bisa tertidur pada dua keadaan ini wahai Muawiyah?”
Mungkin
Muawiyah bin Hudaij bermaksud kasihan kepada Umar. Ia ingin Umar beristirahat
karena capek sehabis bersafar. Rakyat pun akan memaklumi keadaan itu dan juga
kasihan kepada pemimpinnya, sehingga mereka rela jika Umar beristirahat. Tetapi
Umar sendiri malah khawatir kalau hal itu termasuk menghalangi rakyatnya untuk
mengadukan keinginannya mereka kepadanya.
Umar
berkata, “Jika ada seekor onta mati karena disia-siakan tidak terurus. Aku
takut Allah memintai pertangung-jawaban kepadaku karena hal itu.
Karena
onta tersebut berada di wilayah kekuasaannya, Umar yakin ia bertanggung jawab
atas keberlangsungan hidupnya. Ketika onta itu mati sia-sia; karena kelaparan,
atau tertabrak kendaraan, atau terjerembab di jalanan karena fasilitas yang
buruk, Umar khawatir Allah akan memintai pertanggung-jawaban kepadanya nanti di
hari kiamat. Subhanallah… kalau rasa tanggung jawab kepada hewan pun sampai
demikian, bagaimana kiranya kepada manusia? Semoga Allah meridhai dan
senantiasa merahmati Anda wahai Amirul Mukminin…
Berkaca
pada keadaan kita jalan berlubang sehingga banyak yang celaka, banjir, macet,
tidak aman di jalanan, dan lain sebagainya. Diklaim sebagai pemimpin yang adil
dan amanah. Memang standarnya berbeda.
Pada
saat haji terakhir yang ia tunaikan dalam hayatnya, Umar radhiallahu ‘anhu
duduk bersimpuh kemudian membentangkan rida’nya. Ia mengangkat tinggi kedua
tangannya ke arah langit. Ia berucap, “Ya Allah.. sungguh usiaku telah menua dan
ragaku kian melemah, sementara rakyaku semakin banyak (karena wilayah Islam
meluas pen.), cabutlah nyawaku dalam keadaan tidak disia-siakan.”
Perhatian
Terhadap Rakyat
Perhatian
Umar terhadap rakyatnya benar-benar membuat kita kagum dan namanya pun kian
mengharum, mulia bagi mereka pembaca kisah kepemimpinannya. Doa-doa rahmat dan
ridha untuknya begitu deras mengalir. Siang-malam ia pantau keadaan rakyatnya.
Ia benar-benar sadar kepemimpinan itu adalah melayani. Kepemimpinan bukan untuk
menaikkan status sosial, menumpuk harta, yang akan menghasilkan kehinaan di
akhirat semata.
Orang
hari ini kenal belusukan sebagai ciri pimpinan peduli, Umar telah melakukannya
sejak dulu dengan ketulusan hati. Ia duduk bersama rakyatnya, mengintipi
keadaan mereka, dan menanyai hajat kebutuhan. Kepada yang kecil atau yang
besar. Kepada yang kaya atau yang miskin. Ia tidak pernah memberikan batas
kepada mereka semua.
Abdullah
bin Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Setiap kali shalat, Umar
senantiasa duduk bersama rakyatnya. Siapa yang mengadukan suatu keperluan, maka
ia segera meneliti keadaannya. Ia terbiasa duduk sehabis shalat subuh hingga
matahari mulai naik, melihat keperluan rakyatnya. Setelah itu baru ia kembali
ke rumah”.
Sebagian
rakyat ada yang merasa enggan mengadukan permasalahannya. Mereka segan karena
betapa wibawanya Umar. Kemudian beberapa orang sahabat; Ali bin Abi Thalib,
Utsman bin Affan, Thalhah bin Ubaidillah, az-Zubair bin al-Awwam, Abdurrahman
bin Auf, dan Saad bin Abi Waqqash ingin memberi tahu Umar tentang hal ini. Dan
majulah Abdurrahman bin Auf yang paling berani untuk membuka pembicaraan dengan
Umar.
Serombongan
sahabat ini berkata, “Bagaimana jika engkau (Abdurrahman) berbicara kepada
Amirul Mukminin. Karena ada orang yang ingin dipenuhi kebutuhannya, namun segan
untuk berbicara dengannya karena wibawanya. Sehingga ia pun pulang menahan
keperluannya.
Abdurrahman
pun menemui Umar dan berbicara kepadanya. “Amirul Mukminin, bersikaplah lemah
lebut kepada orang-orang. Karena ada orang yang hendak datang menemuimu, namun
suara mereka untuk memberi tahu kebutuhan, tercekat oleh wibawamu. Mereka pun
pulang dan tidak berani bicara”, kata Abdurrahman.
Umar
radhiallahu ‘anhu menanggapi, “Wahai Abdurrahaman, aku bertanya kepadamu
atas nama Allah, apakah Ali, Utsman, Thalhah, az-Zubair, dan Saad yang
memintamu untuk menyampaikan hal ini?” “Allahumma na’am”, jawab
Abdurrahman.
“Wahai
Abdurrahman, demi Allah, aku telah bersikap lemah lembut terhadap mereka sampai
aku takut kepada Allah kalau berlebihan dalam hal ini. Aku juga bersikap tegas
kepada mereka, sampai aku takut kepada Allah berlebihan dalam ketegasan. Lalu,
bagaimana jalan keluarnya?” Tanya Umar. Abdurrahman pun menangis. Lalu
mengusapkan rida’nya menghapus titik air mata. Ia berucap, “Lancang sekali
mereka. Lancang sekali mereka”.
Adapun
bagi masyarakat yang tinggal jauh dari Kota Madinah; seperti penduduk Irak,
Syam, dll. Umar sering bertanya tentang keadaan mereka, kemudian memenuhi
kebutuhan mereka. Umar mengirim utusannya untuk meneliti keadaan orang-orang di
luar Madinah.
Terkadang,
Umar juga mengadakan kunjungan langsung. Melihat sendiri keadaan rakyat di
bawah kepengurusan gubernurnya. Umar memenuhi kebutuhan mereka dengan
sungguh-sungguh. Sampai-sampai ia berkeinginan janda-janda yang tidak memiliki
orang yang menanggung merasa cukup dengan bantuannya sehingga tidak butuh
kepada laki-laki lainnya.
Penutup
Inilah
seorang pemimpin yang memerankan kepemimpinan dalam arti sebenarnya. Ia memberikan
teladan dalam perkataan dan perbuatan. Seorang yang shaleh secara pribadi dan
cakap dalam kepemimpinan.
Sesuatu
yang perlu kita sadari, pemimpin adalah kader dari masyarakatnya. Umar bin
al-Khattab adalah kader dari masyarakatnya. Dan setiap masyarakat akan
mengkader pemimpin mereka sendiri. Masyarakat yang baik akan melahirkan kader
yang baik, sehingga sekumpulan kader-kader yang baik ini akan menunjuk yang
terbaik di antara mereka untuk memimpin mereka. Dan masyarakat yang jelek akan
melahirkan kader yang serba kekurangan. Lalu mereka menunjuk pemimpin
berdasarkan hawa nafsu dan kepentingan.
Sumber:
http://islamstory.com/
http://kisahmuslim.com/kasih-sayang-umar-terhadap-rakyatnya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar